Ramah dan Alami Lewat Batik Warna Alam
Batik yang menggunakan pewarna alami semakin menjadi tren. Meskipun proses pembuatannya lebih panjang dan berisiko, limbahnya ramah bagi lingkungan. Gerai batik ini selalu ramai didatangi pengunjung pada pameran Adiwastra Nusantara 2011 yang berlangsung bulan Juni lalu di Balai Sidang Jakarta. Koleksinya mengkhususkan diri pada kain batik berpewarna alami, khususnya indigo. Dengan warna abu-abu, kehijauan, dan biru yang dipadu dengan potongan trendi, koleksi berlabel Galeri Batik Jawa tersebut menyedot perhatian konsumen.
Bagi Mayasari Sekarlaranti (42), pemilik Galeri Batik Jawa, yang akrab dipanggil Nita, kecintaannya pada batik sudah tertanam sedari anak-anak. Nita yang mengendalikan bisnisnya dari kota kelahirannya, Yogyakarta, sedari kecil terbiasa mengantar ibunya mencari batik pedesaan. Pengalaman ini juga yang mendorongnya untuk membantu para pembatik di desa-desa di kawasan Imogiri ketika Yogyakarta terkena gempa tahun 2006.
”Waktu itu industri batik di kawasan ini hancur. Saya bersama teman-teman ingin memberdayakan kembali para pembatik Imogiri. Masalahnya, bila membangun kembali pembatikan dengan pewarnaan kimiawi, kawasan Imogiri yang belum pulih dari kerusakan akan semakin rusak lingkungannya oleh limbah kimia. Jadi, saya memutuskan untuk menggunakan bahan alami, yaitu dari pohon indigo.
Bagi Mayasari Sekarlaranti (42), pemilik Galeri Batik Jawa, yang akrab dipanggil Nita, kecintaannya pada batik sudah tertanam sedari anak-anak. Nita yang mengendalikan bisnisnya dari kota kelahirannya, Yogyakarta, sedari kecil terbiasa mengantar ibunya mencari batik pedesaan. Pengalaman ini juga yang mendorongnya untuk membantu para pembatik di desa-desa di kawasan Imogiri ketika Yogyakarta terkena gempa tahun 2006.
”Waktu itu industri batik di kawasan ini hancur. Saya bersama teman-teman ingin memberdayakan kembali para pembatik Imogiri. Masalahnya, bila membangun kembali pembatikan dengan pewarnaan kimiawi, kawasan Imogiri yang belum pulih dari kerusakan akan semakin rusak lingkungannya oleh limbah kimia. Jadi, saya memutuskan untuk menggunakan bahan alami, yaitu dari pohon indigo.
Pencarian pohon indigo dilakukan sampai ke Tuban, Ambarawa, Krakal, dan Jember. Bahan baku itu kemudian diolah menjadi pasta indigo. Kegiatan pembatikan yang melibatkan sekitar 50 ibu di Imogiri itu pun bisa berlanjut kembali. ”Saya memang berniat untuk kembali ke bahan alami karena semakin ke depan kita dituntut untuk mengembangkan usaha yang ramah lingkungan. Lagipula, pewarnaan dengan bahan alami ini sudah dilakukan nenek moyang kita,” kata Nita.
Hanya saja, proses pengerjaannya menjadi lebih lama. Menurut Nita, untuk menjaga agar (gambar) motif batik tidak rontok, dibutuhkan pencelupan sampai 15-20 kali. Bandingkan dengan pembatikan dengan bahan kimia yang membutuhkan proses pencelupan sekitar 1-3 kali saja.
Selain itu, formula warna juga tidak stabil, bisa berubah-ubah tergantung spesies pohon indigo dan jenis kain. ”Yang kami budidayakan adalah indigo dengan daun yang lonjong, panjang, dan lebar, seperti yang ada di Bali, karena hasilnya bagus pada kain. Kami sekarang membudidayakannya di Yogyakarta dan Ambarawa. Tanaman setiap enam bulan sudah bisa dipotong dan bagusnya kita tidak harus mencerabut pohonnya sehingga setiap tiga bulan sudah berdaun lagi,” kata Nita
Setelah lima tahun pembatikan berjalan, kini di Imogiri mulai tumbuh generasi pelanjut. Sudah ada beberapa anak remaja yang terlibat membatik. ”Kuncinya adalah pemahaman pada generasi muda bahwa batik bisa menghasilkan income yang rutin. Memang ada batik-batik yang per helainya dikerjakan sampai berbulan-bulan, tapi untuk pemasukan rutinnya, mereka juga mengerjakan batik yang motifnya mudah dan bisa diselesaikan dalam beberapa hari,” kata Nita.
Di gerainya, Nita menjual batik tulis indigo seharga Rp 350.000 sampai Rp 1,5 juta untuk kain, dan Rp 350.000 sampai Rp 1,5 juta untuk baju yang sudah jadi. Selain di Jakarta, gerainya juga ada di Yogyakarta, Bekasi, Semarang, dan Bandung. ”Rata-rata kami menghasilkan 500 potong per bulan, campuran antara kain dan baju jadi,” kata Nita.
Selalu bikin penasaran
Nur Cahyo (46), pengusaha batik asal Pekalongan yang memiliki label ”Cahyo” dan ”Norma” (lapis keduanya), telah lebih dari delapan tahun bergelut dengan batik berpewarna alami. ”Kini usaha batik saya 70 persen batik alami, sisanya masih ada usaha batik dengan pewarna kimiawi,” kata Cahyo, yang batiknya dikenal memiliki corak tanahan dan isen-isen yang sangat halus.
Sebagian besar produk batik Cahyo berwarna sogan, kehijauan, kekuningan, dan kecoklatan. Warna-warna itu diperoleh dari campuran kayu tegeran, seucang, kayu tingi, dan kayu jambal. Adapun untuk larutan ”pengunci”, bahannya digunakan dari belimbing wuluh. ”Limbah pewarna alami bisa kami buang langsung ke tanah, tak masalah,” kata Cahyo dalam percakapan, Selasa (12/7/2011) lalu.
Sebagai pemain batik lama di Pekalongan, Cahyo melihat bahwa penggunaan pewarna alami akan terus menjadi tren ke depan karena ramah lingkungan.
”Prosesnya juga selalu menantang karena warnanya unik, tidak bisa diprediksi, tidak pernah hasilnya sama. Selalu membuat penasaran. Warna akan sangat tergantung pada proses penguncian bahkan teknik nglorot yang berbeda saja bisa menghasilkan warna yang berbeda,” kata Cahyo, yang memiliki karyawan sekitar 50 orang di Pekalongan.
Kain-kain batik alami Cahyo sedikitnya melewati sembilan kali proses pencelupan. ”Dicelup, direndam, lalu dikeringkan. Setelah tiga kali proses, dikunci dulu. Baru kemudian diulangi lagi. Semua proses ini sangat tergantung pada cuaca. Kalau sampai hujan, proses harus diulangi lagi dari awal,” katanya.
Mengenai motif, menurut Cahyo, tak ada kaitannya dengan bahan pewarna. ”Untuk motif yang cecak-nya rapat, warna kain akan menjadi lebih muda. Sedangkan kalau cecak-nya jarang, warna kain menjadi lebih terang, baik untuk pewarna alami maupun pewarna kimiawi,” katanya.
Dalam sebulan, Cahyo memproduksi sekitar 11-15 lembar batik tulis dan sekitar 500 potong batik cap. Untuk selembar batik tulis halus dari katun, harganya bervariasi dari Rp 2,5 juta sampai Rp 9 juta. Adapun untuk batik tulis dari bahan sutera harganya paling murah Rp 9 juta.
”Untuk batik dengan kualitas istimewa seperti itu, pengerjaannya membutuhkan waktu 6-8 bulan per kain bahkan ada yang sampai satu tahun,
Hanya saja, proses pengerjaannya menjadi lebih lama. Menurut Nita, untuk menjaga agar (gambar) motif batik tidak rontok, dibutuhkan pencelupan sampai 15-20 kali. Bandingkan dengan pembatikan dengan bahan kimia yang membutuhkan proses pencelupan sekitar 1-3 kali saja.
Selain itu, formula warna juga tidak stabil, bisa berubah-ubah tergantung spesies pohon indigo dan jenis kain. ”Yang kami budidayakan adalah indigo dengan daun yang lonjong, panjang, dan lebar, seperti yang ada di Bali, karena hasilnya bagus pada kain. Kami sekarang membudidayakannya di Yogyakarta dan Ambarawa. Tanaman setiap enam bulan sudah bisa dipotong dan bagusnya kita tidak harus mencerabut pohonnya sehingga setiap tiga bulan sudah berdaun lagi,” kata Nita
Setelah lima tahun pembatikan berjalan, kini di Imogiri mulai tumbuh generasi pelanjut. Sudah ada beberapa anak remaja yang terlibat membatik. ”Kuncinya adalah pemahaman pada generasi muda bahwa batik bisa menghasilkan income yang rutin. Memang ada batik-batik yang per helainya dikerjakan sampai berbulan-bulan, tapi untuk pemasukan rutinnya, mereka juga mengerjakan batik yang motifnya mudah dan bisa diselesaikan dalam beberapa hari,” kata Nita.
Di gerainya, Nita menjual batik tulis indigo seharga Rp 350.000 sampai Rp 1,5 juta untuk kain, dan Rp 350.000 sampai Rp 1,5 juta untuk baju yang sudah jadi. Selain di Jakarta, gerainya juga ada di Yogyakarta, Bekasi, Semarang, dan Bandung. ”Rata-rata kami menghasilkan 500 potong per bulan, campuran antara kain dan baju jadi,” kata Nita.
Selalu bikin penasaran
Nur Cahyo (46), pengusaha batik asal Pekalongan yang memiliki label ”Cahyo” dan ”Norma” (lapis keduanya), telah lebih dari delapan tahun bergelut dengan batik berpewarna alami. ”Kini usaha batik saya 70 persen batik alami, sisanya masih ada usaha batik dengan pewarna kimiawi,” kata Cahyo, yang batiknya dikenal memiliki corak tanahan dan isen-isen yang sangat halus.
Sebagian besar produk batik Cahyo berwarna sogan, kehijauan, kekuningan, dan kecoklatan. Warna-warna itu diperoleh dari campuran kayu tegeran, seucang, kayu tingi, dan kayu jambal. Adapun untuk larutan ”pengunci”, bahannya digunakan dari belimbing wuluh. ”Limbah pewarna alami bisa kami buang langsung ke tanah, tak masalah,” kata Cahyo dalam percakapan, Selasa (12/7/2011) lalu.
Sebagai pemain batik lama di Pekalongan, Cahyo melihat bahwa penggunaan pewarna alami akan terus menjadi tren ke depan karena ramah lingkungan.
”Prosesnya juga selalu menantang karena warnanya unik, tidak bisa diprediksi, tidak pernah hasilnya sama. Selalu membuat penasaran. Warna akan sangat tergantung pada proses penguncian bahkan teknik nglorot yang berbeda saja bisa menghasilkan warna yang berbeda,” kata Cahyo, yang memiliki karyawan sekitar 50 orang di Pekalongan.
Kain-kain batik alami Cahyo sedikitnya melewati sembilan kali proses pencelupan. ”Dicelup, direndam, lalu dikeringkan. Setelah tiga kali proses, dikunci dulu. Baru kemudian diulangi lagi. Semua proses ini sangat tergantung pada cuaca. Kalau sampai hujan, proses harus diulangi lagi dari awal,” katanya.
Mengenai motif, menurut Cahyo, tak ada kaitannya dengan bahan pewarna. ”Untuk motif yang cecak-nya rapat, warna kain akan menjadi lebih muda. Sedangkan kalau cecak-nya jarang, warna kain menjadi lebih terang, baik untuk pewarna alami maupun pewarna kimiawi,” katanya.
Dalam sebulan, Cahyo memproduksi sekitar 11-15 lembar batik tulis dan sekitar 500 potong batik cap. Untuk selembar batik tulis halus dari katun, harganya bervariasi dari Rp 2,5 juta sampai Rp 9 juta. Adapun untuk batik tulis dari bahan sutera harganya paling murah Rp 9 juta.
”Untuk batik dengan kualitas istimewa seperti itu, pengerjaannya membutuhkan waktu 6-8 bulan per kain bahkan ada yang sampai satu tahun,
Post a Comment